Kamis, 05 Januari 2012

Solusi Menghindari Konflik Yang Terjadi Karena Komunikasi

Konflik komunikasi akan timbul bila tidak adanya kesamaan makna dan bahasa. Perbedaan itu secara tidak langsung akan mengakibatkan miss communication yaitu kesalahan dalam mengkomunikasikan. Atau lebih parahnya akan mengakibatkan kesalahan dalam menginterpretasi (miss interpretation). Hambatan utama dalam komunikasi antar manusia adalah kecenderungan dasar untuk menilai, untuk menyetujui atau menolak, pernyataan orang lain atau kelompok.
 (Carl Rogers, 1961)

Carl Rogers berpendapat bahwa tiap orang cenderung untuk menghakimi dan menilai orang lain. Karena itu setiap orang mudah membangun rintangan terhadap komunikasi yang efektif. Dengan demikian kita perlu menyadari bahwa bila kita bermaksud menangani konflik dengan baik, kita harus memilih kata-kata dan susunan kalimat secara terencana.
Strategi untuk menjalankan hal tersebut bertumpu pada faktor-faktor di bawah ini:
  1.  Mengakui pendapat dan perspektif diri sendiriSeringkali di dalam proses konflik, salah satu pihak berbicara dan menyampaikan pendapat seakan-akan mewakili orang lain. Misalnya: “Maaf ya, Pak. Seluruh karyawan di pabrik ini tidak bisa menerima cara wakil Bapak memimpin kami.” Pernyataan serupa itu atau suatu pernyataan yang disampaikan dengan cara serupa itu akan segera memancing sikap bertahan dari lawan bicaranya. Orang akan segera merasa diserang oleh banyak orang, karenanya ia harus mempertahankan diri. Cara yang lebih baik adalah, “Maaf Pak, bila Bapak tidak berkeberatan saya ingin menyampaikan bahwa pada hemat saya kepemimpinan wakil Bapak tidak bisa diterima oleh rekan-rekan saya dan saya sendiri.” Tentunya, respons dari pihak lain tetap dapat merupakan suatu respons yang bersifat negatif. Namun sekurang- kurangnya suatu ketidakpastian telah dikurangi dengan pernyataan yang jujur dan terbuka seperti itu.
  2. Menyampaikan topik masalah dengan jelas dan rinci
    Di dalam membicarakan suatu masalah atau topik seringkali orang- orang, khususnya di Asia , terjebak ke dalam generalisasi- generalisasi. Mereka sudah memahami apa yang mereka maksudkan, namun lalai menyadari bahwa orang lain mungkin hanya memahami sebagian kecil dari pemaparan mereka karena generalisasi tersebut. Contohnya: Seorang bos bertanya, “Apakah masalah yang pelik tersebut dapat ditangani dengan baik?” Yang tidak jelas dari pertanyaan tersebut ialah pengertian ‘ditangani dengan baik’ yang digunakan oleh seorang bos.
  3. Memperhatikan dan mengendalikan tata bahasa
    Masalah pemilihan kata di dalam suatu komunikasi akan menentukan suatu penyelesaian konflik. Seperti telah dijelaskan di dalam pembukaan tentang metafor, pemilihan kata pada dasarnya mengungkapkan pikiran kita, bahkan cara kita memahami dunia.
  4. Memperhatikan rintangan tata bahasa
    Selain pemilihan kata, di dalam komunikasi untuk penanganan konflik, perlu juga disadari bahaya penggunaan bahasa pasar/slang/prokem, stereotype dan ungkapan-ungkapan otomatis. Ketika hal itu mempertajam pembedaan antara seorang dengan orang lain secara negatif.
    Slang atau bahasa pasar adalah penggunaan istilah-istilah atau cara berbahasa yang digunakan hanya oleh kalangan tertentu. Misalnya: nyokap (ibu), bokap (bapak), mejeng (berdiri menunggu), ngeceng, cabut (pergi). Penggunaan kata serupa itu di dalam suatu komunikasi dapat ditafsirkan bahwa si pembicara memandang rendah lawan bicaranya. Mengapa? Sebab tata krama dan sopan santun seakan-akan ditiadakan dengan sengaja. Hal itu lebih terasa bila dilakukan di dalam lingkungan yang resmi.
  5. Memperhatikan pemilihan tata bahasa
    Berbagai pernyataan dalam kalimat memperlihatkan aliran gagasan di antara orang. Salah satu di antaranya ialah penggunaan ancaman. Ancaman tersebut mungkin dilontarkan dalam pernyataan yang jelas dan terbuka, misalnya “Bila Anda tidak memindahkan mobil itu, saya akan membakarnya.” Kerapkali ancaman juga disampaikan secara terselubung. “Perusahaan kami tidak terlalu senang terhadap karyawan-karyawan yang segan melakukan tugas lembur.” Peneliti seperti Gibb atau Hocker dan Wilnet mengamati bahwa suatu ancaman menghasilkan sasaran yang positif. Sebabnya cukup nyata, yaitu bahwa ancaman membuat orang mendukung sikap bertahan. Humor yang berisi ejekan dan sarkasme juga mendukung terjadinya konflik.
Bila seseorang mengucapkan pertanyaan yang merupakan dakwaan, atau usaha mencari kesalahan secara negatif, akibat yang ditimbulkan ialah sikap defensif. Contohnya, “Apakah Anda tidak mau memikirkan orang lain dan sering bertindak semau diri sendiri?” Pertanyaan serupa ini dengan mudah memancing jawab yang sejenis, “Cuma orang tolol yang bertindak semau saya. Atau mungkin pertanyaan itu sendiri adalah pertanyaan yang tolol!” Pertanyaan yang berisi penilaian negatif dan sarkastis sering merupakan alat tercepat yang mengobarkan konflik lebih luas.
Jadi mulailah menggunakan tolak ukur sebelum berbicara, pikirkan lawan bicara agar tidak terjadi konflik, karena pada dasarnya semua orang dapat menghindari konflik tetapi ada juga orang yang memang ingin menciptakan konflik.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 rikirikardo
Theme by Unknown